Jumat, 24 Juni 2011

Pra Peradilan

Praperadilan, dalam istilah hukum Indonesia[1], adalah wewenang Pengadilan Negeri untuk memeriksa dan memutus tentang:
• Sah atau tidaknya suatu penangkapan dan atau penahanan atau permintaan tersangka atau keluarganya atau pihak lain atau kuasa tersangka;
• Sah atau tidaknya penghentian penyidikan atau penghentian penuntutan atas permintaan demi tegaknya hukum dan keadilan;
• Permintaan ganti kerugian atau rehabilitasi oleh tersangka atau keluarganya atau pihak lain atau kuasanya yang perkaranya tidak diajukan ke pengadilan.
Secara limitattif umumnya mengenai pra peradilan diatur dalam pasal 77 sampai pasal 88 KUHAP. Selain dari pada itu, ada pasal lain yang masih berhubungan dengan pra peradilan tetapi diatur dalam pasal tersendiri yaitu mengenai tuntutan ganti kerugian dan rehabilitasi sebagaimana di atur dalam pasal 95 dan 97 KUHAP.
Kewenangan secara spesifik pra peradilan sesuai dengan pasal 77 sampai pasal 88 KUHAP adalah memeriksa sah atau tidaknya upaya paksa (penangkapan dan penahanan) serta memeriksa sah atau tidaknya penghentian penyidikan atau penghentian penuntutan, akan tetapi dikaitkan pasal 95 dan 97 KUHAP kewenangan pra peradilan ditambah dengan kewenangan untuk memeriksa dan memutus ganti kerugian dan rehabitilasi. Ganti kerugian dalam hal ini bukan hanya semata – mata mengenai akibat kesalahan upaya paksa, penyidikan maupun penuntutan, tetapi dapat juga ganti kerugian akibat adanya pemasukan rumah, penggeledahan dan penyitaan yang tidak sah secara hukum sesuai dengan penjelasan pasal 95 ayat (1) KUHAP. Dalam keputusan Menkeh RI No. M.01.PW.07.03 tahun 1982, pra peradilan disebutkan dapat pula dilakukan atas tindakan kesalahan penyitaan yang tidak termasuk alat bukti, atau seseorang yang dikenankan tindakan lain tanpa alasan yang berdasarkan undang – undang karena kekeliruan orang atau hukum yang diterapkan.
Ganti kerugian diatur dalam Bab XII, Bagian Kesatu KUHAP. Perlu diperhatikan dalam pasal 1 butir 22 menyatakan “ Ganti kerugian adalah hak seseorang untuk mendapatkan pemenuhan atas tuntutannya yang berupa imbalan sejumlah uang karena ditangkap, ditahan, ataupun diadili tanpa alasan yang berdasarkan undang – undang atau karena kekeliruan orangnya atau hukum yang diterapkan menurut cara yang diatur undang – undang ini. Beranjak dari bunyi pasal diatas, dapat ditangkap dengan jelas bahwa ganti rugi adalah alat pemenuhan untuk mengganti kerugian akibat hilangnya kenikmatan berupa kebebasan karena adanya upaya paksa yang tidak berdasar hukum. Kiranya sangat tepat jika negara bertanggung jawab untuk membayar ganti rugi, sebab tindakan upaya paksa tentu dilakukan oleh aparat hukum yang merupakan bagian dari negara.
Dalam Bab X Bagian Kesatu mulai pasal 79 sampai dengan pasal 83 KUHAP diatur pihak – pihak yang dapat mengajukan pra peradilan adalah :
• Tersangka, keluarganya melalui kuasa hukum yang mengajukan gugatan praperadilan terhadap kepolisian atau kejaksaan di pengadilan atas dasar sah atau tidaknya penangkapan, penahanan, penyitaan dan penggeledahan;
• Penuntut umum atau pihak ketiga yang berkepentingan atas dasar sah lam atau tidaknya penghentian penyidikan;
• Penyidik atau pihak ketiga yang berkepentingan atas dasar sah atau tidaknya penghentian penuntutan;
• Tersangka atau pihak ketiga yang bekepentingan menuntut ganti rugi tentang sahnya penghentian penyidikan atau penuntutan (pasal 81 KUHAP);
• Tersangka, ahli waris atau kuasanya tentang tuntutan ganti rugi atas alasan penangkapan atau penahanan yang tidak sah, penggeledahan atau penyitaan tanpa alasan yang sah atau karena kekeliruan orang atau hukum yang diterapkan, yang perkaranya tidak diajukan ke sidang pengadilan (pasal 95 ayat (2) KUHAP).
Khusus dalam hal pra peradilan yang dilakukan oleh penyidik terhadap penghentian penuntutan atau penuntut umum terhadap penghentian penyidikan hendaknya di pahami bukan untuk mencampuri urusan kewenangan masing – masing kelembagaan tetapi lebih di pahami sebagai kontrol mekanisme penegakan hukum acara. Peran serta masyarakat baik itu melalui LSM maupun secara individu juga mutlak di perlukan dalam pengawasan penegakan hukum. Dalam pasal 80 KUHAP, pengertian pihak ketiga yang berkepentingan dalam mengajukan pra peradilan tentang penghentian penyidikan atau penuntutan, sering diartikan hanya sebatas saksi pelapor atau saksi korban tindak pidana. Kedepan pengertian itu perlu diperluas dengan melibatkan masyarakat luas yang diwakili LSM atau organisasi kemasyarakatan. M. Yahya Harahap dalam bukunya Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP menyatakan perlunya LSM atau organisasi kemasyarakatan di beri ruang sebagai pihak untuk mengajukan pra peradilan. Sebagai lembaga yang bertujuan mengawal penegakan hukum, jika tujuan mem pra peradilankan penghentian penyidikan maupun penghentian penuntutan adalah untuk mengkoreksi atau mengawasi kemungkinan kekeliruan maupun kesewenangan atas penghentian secara horizontal, cukup alasan untuk berpendapat, bahwa kehendak untuk melibatkan masyarakat luas yang di wakili LSM atau organisasi kemasyarakatan dapat di terima dalam proses pengajuan pra peradilan.
Pengajuan pra peradilan di lakukan di pengadilan negeri, dengan membuat permohonan kepada Ketua Pengadilan Negeri untuk nantinya di register dalam register khusus tentang pra peradilan. Dari permohonan tersebut, sesuai ketentuan pasal 78 ayat (2), Ketua Pengadilan Negeri akan menunjuk seorang hakim tunggal untuk memeriksa perkara pra peradilan dengan dibantu dengan seorang panitera. Untuk penetapan hari sidang sesuai dengan pasal 82 ayat (1) huruf c mensyaratkan untuk segera bersidang 3 hari setelah di catat dalam register dan dalam tempo 7 hari perkara tersebut sudah harus di putus, sedangkan untuk pemanggilan para pihak dilakukan bersamaan dengan penetapan hari sidang oleh hakim yan ditunjuk. Tata cara maupun bentuk putusan dalam pra peradilan tidak diatur dalam ketentuan khusus dalam KUHAP. Sesuai dengan sifat cepat dan sederhananya proses persidangan, hendaknya hakim dapat meyesuaikan dalam melaksanakan proses persidangan maupun putusan. M. Yahya Harahap menegaskan bertitik tolak dari pasal 82 ayat (1) huruf c yang mengatur pengajuan dan tata cara pemeriksaan pra peradilan, hakim diminta untuk tegas menentukan tahapan persidangan pra peradilan dan membuat putusan sesederhana mungkin atau bisa di gabung dengan Berita Acara Sidang asalkan putusan memuat pertimbangan hukum yang lengkap, jelas dan memadai. Memperhatikan Pasal 82 ayat (1) huruf d yang berbunyi “ Dalam hal suatu perkara sudah mulai diperiksa Pengadilan Negeri, sedangkan pemeriksaan pra peradilan belum selesai, maka permintaan tersebut gugur” maka pra peradilan dianggap gugur apabila :
• Perkaranya telah diperiksa oleh Pengadilan Negeri dan ;
• pada saat perkaranya di periksa Pengadilan Negeri, pemeriksaan pra peradilan belum selesai.
Ketentuan pra peradilan gugur apabila pokok perkara telah masuk di Pengadilan Negeri, di maksudkan untuk menghindari penjatuhan putusan yang berbeda. Tidak tepat kiranya apabila pra peradilan tetap di periksa sementara perkara pokoknya telah masuk juga dalam tahap persidangan. Tentunya jika di paksakan bersidang dan terjadi perbedaan penjatuhan putusan antara pra peradilan dengan perkara pokok, akan menimbulkan akibat hukum yang tidak baik. Gugurnya permohonan pra peradilan dapat juga di lakukan oleh pihak pemohon ketika sidang belum menjatuhkan putusan, asalkan hal tersebut di setujui termohon.
Putusan pra peradilan pada dasarnya tidak dapat dimintakan banding. kecuali atas putusan tidak sahnya penghentian penyidikan atau penuntutan. Pasal 83 ayat (1) berbunyi “ Terhadap putusan pra peradilan sebagaimana dimaksud dalam pasal 79, pasal 80 dan pasal 81 tidak dapat di mintakan banding”, sedangkan pasal 83 ayat (2) berbunyi :
• terhadap putusan yang menetapkan “sahnya” penghentian penyidikan atau penuntutan “tidak dapat” diajukan permintaan banding;
• terhadap putusan yang menetapkan “tidak sahnya” penghentian penyidikan atau penuntutan “dapat” diajukan permintaan banding;
• Pengadilan Tinggi (PT) yang memeriksa dan memutus permintaan banding tentang tidak sahnya penghentian penyidikan atau penuntutan, bertindak sebagai pengadilan yang memeriksa dan memutus “dalam tingkat akhir”.
Ketentuan pasal 83 ayat (1) tidak dimaksudkan untuk membatasi keinginan para pihak mencari keadilan tetapi justru dimaksudkan untuk mewujudkan “acara cepat” dan mewujudkan kepastian hukum dalam waktu yang relatif singkat, sebagaimana dasar pra peradilan, sebab dalam pasal 83 ayat (2) proses banding ke PT pun merupakan upaya terakhir dan final serta tidak dikenal upaya kasasi pra peradilan ke Mahkamah Agung (MA).
Pra peradilan adalah hal biasa dalam membangun saling kontrol antara kepolisian, kejaksaan dan tersangka melalui kuasa hukumnya. Tidak usah suatu proses pra peradilan di tanggapi dengan kecurigaan bahwa antara lembaga hukum akan saling menjatuhkan. Dalam suatu negara hukum, saling kontrol adalah suatu hal lumrah untuk menghindari kesewenang – wenangan penerapan upaya paksa (penangkapan dan penahanan) atau penghentian penyidikan dan penuntutan (SP 3 dan SKPPP) secara tidak beralasan apalagi diam – diam. Upaya kontrol itu perlu sebagai peningkatan kinerja di lembaga penegak hukum, serta untuk membangun kembali citra penegak hukum yang saat ini telah terpuruk. Oleh sebab itu semua proses pra peradilan harus dapat diterima dengan lapang dada, begitu pula dengan putusan yang di hasilkan pra peradilan. Kepolisian, kejaksaan, hakim dan advokat harus mampu bekerja sama menampilkan hukum yang pasti, jelas dan memadai. Kepastian hukum akan membuat keadaan negara harmonis dan pencari keadilan merasa terlindungi.



Pustaka
Harahap, M. Yahya, Pembahasan Permasalahan Dan Penerapan KUHAP (Sinar Grafika, 2001).
Mahkamah Agung RI, Pedoman Pelaksanaan Tugas Dan Administrasi Pengadilan Dalam Empat lingkungan Peradilan ( Buku II, edisi 2007).
R. Soesilo, M. Karjadi, Kitab Undang – Undang Hukum Pidana (Politeia Bogor, 1987).

KODE ETIK ADVOKAT

KODE ETIK ADVOKAT INDONESIA
PEMBUKAAN

Bahwa semestinya organisasi profesi memiliki Kode Etik yang membebankan kewajiban dan sekaligus memberikan perlindungan hukum kepada setiap anggotanya dalam menjalankan profesinya. Advokat sebagai profesi terhormat (officium nobile) yang dalam menjalankan profesinya berada dibawah perlindungan hukum, undang-undang dan Kode Etik, memiliki kebebasan yang didasarkan kepada kehormatan dan kepribadian Advokat yang berpegang teguh kepada Kemandirian, Kejujuran, Kerahasiaan dan Keterbukaan. Bahwa profesi Advokat adalah selaku penegak hukum yang sejajar dengan instansi penegak hukum lainnya, oleh karena itu satu sama lainnya harus saling menghargai antara teman sejawat dan juga antara para penegak hukum lainnya. Oleh karena itu juga, setiap Advokat harus menjaga citra dan martabat kehormatan profesi, serta setia dan menjunjung tinggi Kode Etik dan Sumpah Profesi, yang pelaksanaannya diawasi oleh Dewan Kehormatan sebagai suatu lembaga yang eksistensinya telah dan harus diakui setiap Advokat tanpa melihat dari organisasi profesi yang mana ia berasal dan menjadi anggota, yang pada saat mengucapkan Sumpah Profesi-nya tersirat pengakuan dan kepatuhannya terhadap Kode Etik Advokat yang berlaku.
Dengan demikian Kode Etik Advokat Indonesia adalah sebagai hukum tertinggi dalam menjalankan profesi, yang menjamin dan melindungi namun membebankan kewajiban kepada setiap Advokat untuk jujur dan bertanggung jawab dalam menjalankan profesinya baik kepada klien, pengadilan, negara atau masyarakat dan terutama kepada dirinya sendiri.

BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Yang dimaksud dengan:
a. Advokat adalah orang yang berpraktek memberi jasa hukum, baik didalam maupun diluar pengadilan yang memenuhi persyaratan berdasarkan undang-undang yang berlaku, baik sebagai Advokat, Pengacara, Penasehat Hukum, Pengacara praktek ataupun sebagai konsultan hukum.
b. Klien adalah orang, badan hukum atau lembaga lain yang menerima jasa dan atau bantuan hukum dari Advokat.
c. Teman sejawat adalah orang atau mereka yang menjalankan praktek hukum sebagai Advokat sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku.
d. Teman sejawat asing adalah Advokat yang bukan berkewarganegaraan Indonesia yang menjalankan praktek hukum di Indonesia sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku.
e. Dewan kehormatan adalah lembaga atau badan yang dibentuk oleh organisasi profesi advokat yang berfungsi dan berkewenangan mengawasi pelaksanaan kode etik Advokat sebagaimana semestinya oleh Advokat dan berhak menerima dan memeriksa pengaduan terhadap seorang Advokat yang dianggap melanggar Kode Etik Advokat.
f. Honorarium adalah pembayaran kepada Advokat sebagai imbalan jasa Advokat berdasarkan kesepakatan dan atau perjanjian dengan kliennya.

BAB II
KEPRIBADIAN ADVOKAT
Pasal 2
Advokat Indonesia adalah warga negara Indonesia yang bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, bersikap satria, jujur dalam mempertahankan keadilan dan kebenaran dilandasi moral yang tinggi, luhur dan mulia, dan yang dalam melaksanakan tugasnya menjunjung tinggi hukum, Undang-undang Dasar Republik Indonesia, Kode Etik Advokat serta sumpah jabatannya.

Pasal 3
a. Advokat dapat menolak untuk memberi nasihat dan bantuan hukum kepada setiap orang yang memerlukan jasa dan atau bantuan hukum dengan pertimbangan oleh karena tidak sesuai dengan keahliannya dan bertentangan dengan hati nuraninya, tetapi tidak dapat menolak dengan alasan karena perbedaan agama, kepercayaan, suku, keturunan, jenis kelamin, keyakinan politik dan kedudukan sosialnya.
b. Advokat dalam melakukan tugasnya tidak bertujuan semata-mata untuk memperoleh imbalan materi tetapi lebih mengutamakan tegaknya Hukum, Kebenaran dan Keadilan.
c. Advokat dalam menjalankan profesinya adalah bebas dan mandiri serta tidak dipengaruhi oleh siapapun dan wajib memperjuangkan hak-hak azasi manusia dalam Negara Hukum Indonesia.
d. Advokat wajib memelihara rasa solidaritas diantara teman sejawat.
e. Advokat wajib memberikan bantuan dan pembelaan hukum kepada teman sejawat yang diduga atau didakwa dalam suatu perkara pidana atas permintaannya atau karena penunjukan organisasi profesi.
f. Advokat tidak dibenarkan untuk melakukan pekerjaan lain yang dapat merugikan kebebasan, derajat dan martabat Advokat.
g. Advokat harus senantiasa menjunjung tinggi profesi Advokat sebagai profesi terhormat (officium nobile).
h. Advokat dalam menjalankan profesinya harus bersikap sopan terhadap semua pihak namun wajib mempertahankan hak dan martabat advokat.
i. Seorang Advokat yang kemudian diangkat untuk menduduki suatu jabatan Negara (Eksekutif, Legislatif dan judikatif) tidak dibenarkan untuk berpraktek sebagai Advokat dan tidak diperkenankan namanya dicantumkan atau dipergunakan oleh siapapun atau oleh kantor manapun dalam suatu perkara yang sedang diproses/berjalan selama ia menduduki jabatan tersebut.

BAB III
HUBUNGAN DENGAN KLIEN
Pasal 4
a. Advokat dalam perkara-perkara perdata harus mengutamakan penyelesaian dengan jalan damai.
b. Advokat tidak dibenarkan memberikan keterangan yang dapat menyesatkan klien mengenai perkara yang sedang diurusnya.
c. Advokat tidak dibenarkan menjamin kepada kliennya bahwa perkara yang ditanganinya akan menang.
d. Dalam menentukan besarnya honorarium Advokat wajib mempertimbangkan kemampuan klien.
e. Advokat tidak dibenarkan membebani klien dengan biaya-biaya yang tidak perlu.
f. Advokat dalam mengurus perkara cuma-cuma harus memberikan perhatian yang sama seperti terhadap perkara untuk mana ia menerima uang jasa.
g. Advokat harus menolak mengurus perkara yang menurut keyakinannya tidak ada dasar hukumnya.
h. Advokat wajib memegang rahasia jabatan tentang hal-hal yang diberitahukan oleh klien secara kepercayaan dan wajib tetap menjaga rahasia itu setelah berakhirnya hubungan antara Advokat dan klien itu.
i. Advokat tidak dibenarkan melepaskan tugas yang dibebankan kepadanya pada saat yang tidak menguntungkan posisi klien atau pada saat tugas itu akan dapat menimbulkan kerugian yang tidak dapat diperbaiki lagi bagi klien yang bersangkutan, dengan tidak mengurangi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam pasal 3 huruf a.
j. Advokat yang mengurus kepentingan bersama dari dua pihak atau lebih harus mengundurkan diri sepenuhnya dari pengurusan kepentingan-kepentingan tersebut, apabila dikemudian hari timbul pertentangan kepentingan antara pihak-pihak yang bersangkutan.
k. Hak retensi Advokat terhadap klien diakui sepanjang tidak akan menimbulkan kerugian kepentingan klien.

BAB IV
HUBUNGAN DENGAN TEMAN SEJAWAT
Pasal 5
a. Hubungan antara teman sejawat Advokat harus dilandasi sikap saling menghormati, saling menghargai dan saling mempercayai.
b. Advokat jika membicarakan teman sejawat atau jika berhadapan satu sama lain dalam sidang pengadilan, hendaknya tidak menggunakan kata-kata yang tidak sopan baik secara lisan maupun tertulis.
c. Keberatan-keberatan terhadap tindakan teman sejawat yang dianggap bertentangan dengan Kode Etik Advokat harus diajukan kepada Dewan Kehormatan untuk diperiksa dan tidak dibenarkan untuk disiarkan melalui media massa atau cara lain.
d. Advokat tidak diperkenankan menarik atau merebut seorang klien dari teman sejawat.
e. Apabila klien hendak mengganti Advokat, maka Advokat yang baru hanya dapat menerima perkara itu setelah menerima bukti pencabutan pemberian kuasa kepada Advokat semula dan berkewajiban mengingatkan klien untuk memenuhi kewajibannya apabila masih ada terhadap Advokat semula.
f. Apabila suatu perkara kemudian diserahkan oleh klien terhadap Advokat yang baru, maka Advokat semula wajib memberikan kepadanya semua surat dan keterangan yang penting untuk mengurus perkara itu, dengan memperhatikan hak retensi Advokat terhadap klien tersebut.

BAB V
TENTANG SEJAWAT ASING
Pasal 6
Advokat asing yang berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku menjalankan profesinya di Indonesia tunduk kepada serta wajib mentaati Kode Etik ini.

BAB VI
CARA BERTINDAK MENANGANI PERKARA
Pasal 7
a. Surat-surat yang dikirim oleh Advokat kepada teman sejawatnya dalam suatu perkara dapat ditunjukkan kepada hakim apabila dianggap perlu kecuali surat-surat yang bersangkutan dibuat dengan membubuhi catatan "Sans Prejudice ".
b. Isi pembicaraan atau korespondensi dalam rangka upaya perdamaian antar Advokat akan tetapi tidak berhasil, tidak dibenarkan untuk digunakan sebagai bukti dimuka pengadilan.
c. Dalam perkara perdata yang sedang berjalan, Advokat hanya dapat menghubungi hakim apabila bersama-sama dengan Advokat pihak lawan, dan apabila ia menyampaikan
surat, termasuk surat yang bersifat "ad informandum" maka hendaknya seketika itu tembusan dari surat tersebut wajib diserahkan atau dikirimkan pula kepada Advokat pihak lawan.
d. Dalam perkara pidana yang sedang berjalan, Advokat hanya dapat menghubungi hakim apabila bersama-sama dengan jaksa penuntut umum.
e. Advokat tidak dibenarkan mengajari dan atau mempengaruhi saksi-saksi yang diajukan oleh pihak lawan dalam perkara perdata atau oleh jaksa penuntut umum dalam perkara pidana.
f. Apabila Advokat mengetahui, bahwa seseorang telah menunjuk Advokat mengenai suatu perkara tertentu, maka hubungan dengan orang itu mengenai perkara tertentu tersebut hanya boleh dilakukan melalui Advokat tersebut.
g. Advokat bebas mengeluarkan pernyataan-pernyataan atau pendapat yang dikemukakan dalam sidang pengadilan dalam rangka pembelaan dalam suatu perkara yang menjadi tanggung jawabnya baik dalam sidang terbuka maupun dalam sidang tertutup yang dikemukakan secara proporsional dan tidak berkelebihan dan untuk itu memiliki imunitas hukum baik perdata maupun pidana.
h. Advokat mempunyai kewajiban untuk memberikan bantuan hukum secara cuma-Cuma (pro deo) bagi orang yang tidak mampu.
i. Advokat wajib menyampaikan pemberitahuan tentang putusan pengadilan mengenai perkara yang ia tangani kepada kliennya pada waktunya.

BAB VII
KETENTUAN-KETENTUAN LAIN TENTANG KODE ETIK
Pasal 8
a. Profesi Advokat adalah profesi yang mulia dan terhormat (officium nobile), dan karenanya dalam menjalankan profesi selaku penegak hukum di pengadilan sejajar dengan Jaksa dan Hakim, yang dalam melaksanakan profesinya berada dibawah perlindungan hukum, undang-undang dan Kode Etik ini.
b. Pemasangan iklan semata-mata untuk menarik perhatian orang adalah dilarang termasuk pemasangan papan nama dengan ukuran dan! atau bentuk yang berlebih-lebihan.
c. Kantor Advokat atau cabangnya tidak dibenarkan diadakan di suatu tempat yang dapat merugikan kedudukan dan martabat Advokat.
d. Advokat tidak dibenarkan mengizinkan orang yang bukan Advokat mencantumkan namanya sebagai Advokat di papan nama kantor Advokat atau mengizinkan orang yang bukan Advokat tersebut untuk memperkenalkan dirinya sebagai Advokat.
e. Advokat tidak dibenarkan mengizinkan karyawan-karyawannya yang tidak berkualifikasi untuk mengurus perkara atau memberi nasehat hukum kepada klien dengan lisan atau dengan tulisan.
f. Advokat tidak dibenarkan melalui media massa mencari publitas bagi dirinya dan atau untuk menarik perhatian masyarakat mengenai tindakan-tindakannya sebagai Advokat mengenai perkara yang sedang atau telah ditanganinya, kecuali apabila keterangan-keterangan yang ia berikan itu bertujuan untuk menegakkan prinsip-prinsip hukum yang
wajib diperjuangkan oleh setiap Advokat.
g. Advokat dapat mengundurkan diri dari perkara yang akan dan atau diurusnya apabila timbul perbedaan dan tidak dicapai kesepakatan tentang cara penanganan perkara dengan kliennya.
h. Advokat yang sebelumnya pernah menjabat sebagai Hakim atau Panitera dari suatu lembaga peradilan, tidak dibenarkan untuk memegang atau menangani perkara yang diperiksa pengadilan tempatnya terakhir bekerja selama 3 (tiga) tahun semenjak ia berhenti dari pengadilan tersebut.

BAB VIII
PELAKSANAAN KODE ETIK
Pasal 9
a. Setiap Advokat wajib tunduk dan mematuhi Kode Etik Advokat ini.
b. Pengawasan atas pelaksanaan Kode Etik Advokat ini dilakukan oleh Dewan Kehormatan.

BAB IX
DEWAN KEHORMATAN
Bagian Pertama
KETENTUAN UMUM
Pasal 10
1. Dewan Kehormatan berwenang memeriksa dan mengadili perkara pelanggaran Kode Etik yang dilakukan oleh Advokat.
2. Pemeriksaan suatu pengaduan dapat dilakukan melalui dua tingkat, yaitu:
a. Tingkat Dewan Kehormatan Cabang/Daerah.
b. Tingkat Dewan Kehormatan Pusat.
3. Dewan Kehormatan Cabang/daerah memeriksa pengaduan pada tingkat pertama dan Dewan Kehormatan Pusat pada tingkat terakhir.
4. Segala biaya yang dikeluarkan dibebankan kepada:
a. Dewan Pimpinan Cabang/Daerah dimana teradu sebagai anggota pada tingkat Dewan Kehormatan Cabang/Daerah;
b. Dewan Pimpinan Pusat pada tingkat Dewan Kehormatan Pusat organisasi dimana teradu sebagai anggota;
c. Pengadu/Teradu.

Bagian Kedua
PENGADUAN
Pasal 11
1. Pengaduan dapat diajukan oleh pihak-pihak yang berkepentingan dan merasa dirugikan, yaitu:
a. Klien.
b. Teman sejawat Advokat.
c. Pejabat Pemerintah.
d. Anggota Masyarakat.
e. Dewan Pimpinan Pusat/Cabang/Daerah dari organisasi profesi dimana Teradu menjadi anggota.
2. Selain untuk kepentingan organisasi, Dewan Pimpinan Pusat atau Dewan Pimpinan Cabang/Daerah dapat juga bertindak sebagai pengadu dalam hal yang menyangkut kepentingan hukum dan kepentingan umum dan yang dipersamakan untuk itu.
3. Pengaduan yang dapat diajukan hanyalah yang mengenai pelanggaran terhadap Kode Etik Advokat.

Bagian Ketiga
TATA CARA PENGADUAN
Pasal 12
1. Pengaduan terhadap Advokat sebagai teradu yang dianggap melanggar Kode Etik Advokat harus disampaikan secara tertulis disertai dengan alasan-alasannya kepada Dewan Kehormatan Cabang/Daerah atau kepada dewan Pimpinan Cabang/Daerah atau Dewan Pimpinan Pusat dimana teradu menjadi anggota.
2. Bilamana di suatu tempat tidak ada Cabang/Daerah Organisasi, pengaduan disampaikan kepada Dewan Kehormatan Cabang/Daerah terdekat atau Dewan Pimpinan Pusat.
3. Bilamana pengaduan disampaikan kepada Dewan Pimpinan Cabang/Daerah, maka Dewan Pimpinan Cabang/Daerah meneruskannya kepada Dewan Kehormatan Cabang/Daerah yang berwenang untuk memeriksa pengaduan itu.
4. Bilamana pengaduan disampaikan kepada Dewan Pimpinan Pusat/Dewan Kehormatan Pusat, maka Dewan Pimpinan Pusat/Dewan Kehormatan Pusat meneruskannya kepada Dewan Kehormatan Cabang/Daerah yang berwenang untuk memeriksa pengaduan itu baik langsung atau melalui Dewan Dewan Pimpinan Cabang/Daerah.

Bagian Keempat
PEMERIKSAAN TINGKAT PERTAMA OLEH DEWAN KEHORMATAN CABANG/DAERAH
Pasal 13
1. Dewan Kehormatan Cabang/Daerah setelah menerima pengaduan tertulis yang disertai surat-surat bukti yang dianggap perlu, menyampaikan surat pemberitahuan selambatlambatnya dalam waktu 14 (empat belas) hari dengan surat kilat khusus/tercatat kepada teradu tentang adanya pengaduan dengan menyampaikan salinan/copy surat pengaduan tersebut.
2. Selambat-lambatnya dalam waktu 21 (dua puluh satu) hari pihak teradu harus memberikan jawabannya secara tertulis kepada Dewan Kehormatan Cabang/Daerah yang bersangkutan, disertai surat-surat bukti yang dianggap perlu.
3. Jika dalam waktu 21 (dua puluh satu) hari tersebut teradu tidak memberikan jawaban tertulis, Dewan Kehormatan Cabang/Daerah menyampaikan pemberitahuan kedua dengan peringatan bahwa apabila dalam waktu 14 (empat belas) hari sejak tanggal surat peringatan tersebut ia tetap tidak memberikan jawaban tertulis, maka ia dianggap telah melepaskan hak jawabnya.
4. Dalam hal teradu tidak menyampaikan jawaban sebagaimana diatur di atas dan dianggap telah melepaskan hak jawabnya, Dewan Kehormatan Cabang/Daerah dapat segera menjatuhkan putusan tanpa kehadiran pihak-pihak yang bersangkutan.
5. Dalam hal jawaban yang diadukan telah diterima, maka Dewan Kehormatan dalam waktu selambat-lambatnya 14 (empat belas) hari menetapkan hari sidang dan menyampaikan panggilan secara patut kepada pengadu dan kepada teradu untuk hadir dipersidangan yang sudah ditetapkan tersebut.
6. Panggilan-panggilan tersebut harus sudah diterima oleh yang bersangkutan paling lambat 3 (tiga) hari sebelum hari sidang yang ditentukan.
7. Pengadu dan yang teradu:
a. Harus hadir secara pribadi dan tidak dapat menguasakan kepada orang lain, yang jika dikehendaki masing-masing dapat didampingi oleh penasehat.
b. Berhak untuk mengajukan saksi-saksi dan bukti-bukti.
8. Pada sidang pertama yang dihadiri kedua belah pihak:
a. Dewan Kehormatan akan menjelaskan tata cara pemeriksaan yang berlaku;
b. Perdamaian hanya dimungkinkan bagi pengaduan yang bersifat perdata atau hanya untuk kepentingan pengadu dan teradu dan tidak mempunyai kaitan langsung dengan kepentingan organisasi atau umum, dimana pengadu akan mencabut kembali pengaduannya atau dibuatkan akta perdamaian yang dijadikan dasar keputusan oleh Dewan Kehormatan Cabang/Daerah yang langsung mempunyai kekuatan hukum yang pasti.
c. Kedua belah pihak diminta mengemukakan alasan-alasan pengaduannya atau pembelaannya secara bergiliran, sedangkan surat-surat bukti akan diperiksa dan saksi-saksi akan didengar oleh Dewan Kehormatan Cabang/Daerah.
9. Apabila pada sidang yang pertama kalinya salah satu pihak tidak hadir:
a. Sidang ditunda sampai dengan sidang berikutnya paling lambat 14 (empat belas) hari dengan memanggil pihak yang tidak hadir secara patut.
b. Apabila pengadu yang telah dipanggil sampai 2 (dua) kali tidak hadir tanpa alasan yang sah, pengaduan dinyatakan gugur dan ia tidak dapat mengajukan pengaduan lagi atas dasar yang sama kecuali Dewan Kehormatan Cabang/Daerah berpendapat bahwa materi pengaduan berkaitan dengan kepentingan umum atau kepentingan organisasi.
c. Apabila teradu telah dipanggil sampai 2 (dua) kali tidak datang tanpa alasan yang sah, pemeriksaan diteruskan tanpa hadirnya teradu.
d. Dewan berwenang untuk memberikan keputusan di luar hadirnya yang teradu, yang mempunyai kekuatan yang sama seperti keputusan biasa.

Bagian Kelima
SIDANG DEWAN KEHORMATAN CABANG/DAERAH
Pasal 14
1. Dewan Kehormatan Cabang/Daerah bersidang dengan Majelis yang terdiri sekurang-kurangnya atas 3 (tiga) orang anggota yang salah satu merangkap sebagai Ketua
Majelis, tetapi harus selalu berjumlah ganjil.
2. Majelis dapat terdiri dari Dewan Kehormatan atau ditambah dengan Anggota Majelis Kehormatan Ad Hoc yaitu orang yang menjalankan profesi dibidang hukum serta mempunyai pengetahuan dan menjiwai Kode Etik Advokat.
3. Majelis dipilih dalam rapat Dewan Kehormatan Cabang/Daerah yang khusus dilakukan untuk itu yang dipimpin oleh Ketua Dewan Kehormatan Cabang/Daerah atau jika ia berhalangan oleh anggota Dewan lainnya yang tertua,
4. Setiap dilakukan persidangan, Majelis Dewan Kehormatan diwajibkan membuat atau menyuruh membuat berita acara persidangan yang disahkan dan ditandatangani oleh Ketua Majelis yang menyidangkan perkara itu.
5. Sidang-sidang dilakukan secara tertutup, sedangkan keputusan diucapkan dalam sidang terbuka.

Bagian Keenam
CARA PENGAMBILAN KEPUTUSAN
Pasal 15
(1) Setelah memeriksa dan mempertimbangkan pengaduan, pembelaan, surat-surat bukti dan keterangan saksi-saksi maka Majelis Dewan Kehormatan mengambil Keputusan yang dapat berupa:
a. Menyatakan pengaduan dari pengadu tidak dapat diterima;
b. Menerima pengaduan dari pengadu dan mengadili serta menjatuhkan sanksi-sanksi kepada teradu;
c. Menolak pengaduan dari pengadu.
(2) Keputusan harus memuat pertimbangan-pertimbangan yang menjadi dasarnya dan menunjuk pada pasal-pasal Kode Etik yang dilanggar.
(3) Majelis Dewan Kehormatan mengambil keputusan dengan suara terbanyak dan mengucapkannya dalam sidang terbuka dengan atau tanpa dihadiri oleh pihak-pihak yang bersangkutan, setelah sebelumnya memberitahukan hari, tanggal dan waktu persidangan tersebut kepada pihak-pihak yang bersangkutan.
(4) Anggota Majelis yang kalah dalam pengambilan suara berhak membuat catatan keberatan yang dilampirkan didalam berkas perkara.
(5) Keputusan ditandatangani oleh Ketua dan semua Anggota Majelis, yang apabila berhalangan untuk menandatangani keputusan, hal mana disebut dalam keputusan yang bersangkutan.

Bagian Ketujuh
SANKSI-SANKSI
Pasal 16
1. Hukuman yang diberikan dalam keputusan dapat berupa:
a. Peringatan biasa.
b. Peringatan keras.
c. Pemberhentian sementara untuk waktu tertentu.
d. Pemecatan dari keanggotaan organisasi profesi.
2. Dengan pertimbangan atas berat atau ringannya sifat pelanggaran Kode Etik Advokat dapat dikenakan sanksi:
a. Peringatan biasa bilamana sifat pelanggarannya tidak berat.
b. Peringatan keras bilamana sifat pelanggarannya berat atau karena mengulangi kembali melanggar kode etik dan atau tidak mengindahkan sanksi peringatan yang pernah diberikan.
c. Pemberhentian sementara untuk waktu tertentu bilamana sifat pelanggarannya berat, tidak mengindahkan dan tidak menghormati ketentuan kode etik atau bilamana setelah mendapat sanksi berupa peringatan keras masih mengulangi melakukan pelanggaran kode etik.
d. Pemecatan dari keanggotaan organisasi profesi bilamana dilakukan pelanggaran kode etik dengan maksud dan tujuan merusak citra serta martabat kehormatan profesi Advokat yang wajib dijunjung tinggi sebagai profesi yang mulia dan terhormat.
3. Pemberian sanksi pemberhentian sementara untuk waktu tertentu harus diikuti larangan untuk menjalankan profesi advokat diluar maupun dimuka pengadilan.
4. Terhadap mereka yang dijatuhi sanksi pemberhentian sementara untuk waktu tertentu dan atau pemecatan dari keanggotaan organisasi profesi disampaikan kepada Mahkamah Agung untuk diketahui dan dicatat dalam daftar Advokat.

Bagian Kedelapan
PENYAMPAIAN SALINAN KEPUTUSAN
Pasal 17
Dalam waktu selambat-lambatnya 14 (empat belas) hari setelah keputusan diucapkan, salinan keputusan Dewan kehormatan Cabang/Daerah harus disampaikan kepada:
a. Anggota yang diadukan/teradu;
b. Pengadu;
c. Dewan Pimpinan Cabang/Daerah dari semua organisasi profesi;
d. Dewan Pimpinan Pusat dari masing-masing organisasi profesi;
e. Dewan Kehormatan Pusat;
f. Instansi-instansi yang dianggap perlu apabila keputusan telah mempunyai kekuatan hukum yang pasti.

Bagian Kesembilan
PEMERIKSAAN TINGKAT BANDING DEWAN KEHORMATAN PUSAT
Pasal 18
1. Apabila pengadu atau teradu tidak puas dengan keputusan Dewan Kehormatan Cabang/Daerah, ia berhak mengajukan permohonan banding atas keputusan tersebut kepada Dewan Kehormatan Pusat.
2. Pengajuan permohonan banding beserta Memori Banding yang sifatnya wajib, harus disampaikan melalui Dewan Kehormatan Cabang/Daerah dalam waktu 21 (dua puluh satu) hari sejak tanggal yang bersangkutan menerima salinan keputusan.
3. Dewan Kehormatan Cabang/Daerah setelah menerima Memori Banding yang bersangkutan selaku pembanding selambat-lambatnya dalam waktu 14 (empat belas) hari sejak penerimaannya, mengirimkan salinannya melalui surat kilat khusus/tercatat kepada pihak lainnya selaku terbanding.
4. Pihak terbanding dapat mengajukan Kontra Memori Banding selambat-lambatnya dalam waktu 21 (dua puluh satu) hari sejak penerimaan Memori Banding.
5. Jika jangka waktu yang ditentukan terbanding tidak menyampaikan Kontra Memori Banding ia dianggap telah melepaskan haknya untuk itu.
6. Selambat-lambatnya dalam waktu 14 (empat belas) hari sejak berkas perkara dilengkapi dengan bahan-bahan yang diperlukan, berkas perkara tersebut diteruskan oleh Dewan Kehormatan Cabang/Daerah kepada dewan Kehormatan Pusat.
7. Pengajuan permohonan banding menyebabkan ditundanya pelaksanaan keputusan Dewan Kehormatan Cabang/Daerah.
8. Dewan kehormatan Pusat memutus dengan susunan Majelis yang terdiri sekurangkurangnya
3 (tiga) orang anggota atau lebih tetapi harus berjumlah ganjil yang salah satu merangkap Ketua Majelis.
9. Majelis dapat terdiri dari Dewan Kehormatan atau ditambah dengan Anggota Majelis
Kehormatan Ad Hoc yaitu orang yang menjalankan profesi dibidang hukum serta mempunyai pengetahuan dan menjiwai Kode Etik Advokat.
10. Majelis dipilih dalam rapat Dewan Kehormatan Pusat yang khusus diadakan untuk itu yang dipimpin oleh Ketua Dewan Kehormatan Pusat atau jika ia berhalangan oleh anggota Dewan lainnya yang tertua.
11. Dewan Kehormatan Pusat memutus berdasar bahan-bahan yang ada dalam berkas perkara, tetapi jika dianggap perlu dapat meminta bahan tambahan dari pihak-pihak yang bersangkutan atau memanggil mereka langsung atas biaya sendiri.
12. Dewan Kehormatan Pusat secara prorogasi dapat menerima permohonan pemeriksaan langsung dari suatu perkara yang diteruskan oleh Dewan Kehormatan Cabang/Daerah asal saja permohonan seperti itu dilampiri surat persetujuan dari kedua belah pihak agar perkaranya diperiksa langsung oleh Dewan Kehormatan Pusat.
13. Semua ketentuan yang berlaku untuk pemeriksaan pada tingkat pertama oleh Dewan Kehormatan Cabang/Daerah, mutatis mutandis berlaku untuk pemeriksaan pada tingkat banding oleh Dewan Kehormatan Pusat.

Bagian Kesepuluh
KEPUTUSAN DEWAN KEHORMATAN
Pasal 19
1. Dewan Kehormatan Pusat dapat menguatkan, merubah atau membatalkan keputusan Dewan Kehormatan Cabang/Daerah dengan memutus sendiri.
2. Keputusan Dewan kehormatan Pusat mempunyai kekuatan tetap sejak diucapkan dalam sidang terbuka dengan atau tanpa dihadiri para pihak dimana hari, tanggal dan waktunya telah diberitahukan sebelumnya kepada pihak-pihak yang bersangkutan.
3. Keputusan Dewan Kehormatan Pusat adalah final dan mengikat yang tidak dapat diganggu gugat dalam forum manapun, termasuk dalam MUNAS.
4. Dalam waktu selambat-lambatnya 14 (empat belas) hari setelah keputusan diucapkan, salinan keputusan Dewan Kehormatan Pusat harus disampaikan kepada:
a. Anggota yang diadukan/teradu baik sebagai pembanding ataupun terbanding;
b. Pengadu baik selaku pembanding ataupun terbanding;
c. Dewan Pimpinan Cabang/Daerah yang bersangkutan;
d. Dewan Kehormatan Cabang/Daerah yang bersangkutan;
e. Dewan Pimpinan Pusat dari masing-masing organisasi profesi;
f. Instansi-instansi yang dianggap perlu.
5. Apabila seseorang telah dipecat, maka Dewan Kehormatan Pusat atau Dewan Kehormatan Cabang/Daerah meminta kepada Dewan Pimpinan Pusat/Organisasi profesi
untuk memecat orang yang bersangkutan dari keanggotaan organisasi profesi. Bagian Kesebelas

KETENTUAN LAIN TENTANG DEWAN KEHORMATAN
Pasal 20
Dewan Kehormatan berwenang menyempurnakan hal-hal yang telah diatur tentang Dewan Kehormatan dalam Kode Etik ini dan atau menentukan hal-hal yang belum diatur didalamnya dengan kewajiban melaporkannya kepada Dewan Pimpinan Pusat/Organisasi profesi agar diumumkan dan diketahui oleh setiap anggota dari masing-masing organisasi.

BAB X
KODE ETIK & DEWAN KEHORMATAN
Pasal 21
Kode Etik ini adalah peraturan tentang Kode Etik dan Ketentuan Tentang Dewan Kehormatan bagi mereka yang menjalankan profesi Advokat, sebagai satu-satunya Peraturan Kode Etik yang diberlakukan dan berlaku di Indonesia.

BAB XI
ATURAN PERALIHAN
Pasal 22
1. Kode Etik ini dibuat dan diprakarsai oleh Komite Kerja Advokat Indonesia, yang disahkan dan ditetapkan oleh Ikatan Advokat Indonesia (IKADIN), Asosiasi Advokat Indonesia (AAI), Ikatan Penasehat Hukum Indonesia (IPHI), Himpunan Advokat & Pengacara Indonesia (HAPI), Serikat Pengacara Indonesia (SPI), Asosiasi Konsultan Hukum Indonesia (AKHI) dan Himpunan Konsultan Hukum Pasar Modal (HKHPM) yang dinyatakan berlaku bagi setiap orang yang menjalankan profesi Advokat di Indonesia tanpa terkecuali.
2. Setiap Advokat wajib menjadi anggota dari salah satu organisasi profesi tersebut dalam
ayat 1 pasal ini.
3. Komite Kerja Advokat Indonesia mewakili organisasi-organisasi profesi tersebut dalam ayat 1 pasal ini sesuai dengan Pernyataan Bersama tertanggal 11 Februari 2002 dalam hubungan kepentingan profesi Advokat dengan lembaga-lembaga Negara dan
pemerintah.
4. Organisasi-organisasi profesi tersebut dalam ayat 1 pasal ini akan membentuk Dewan kehormatan sebagai Dewan Kehormatan Bersama, yang struktur akan disesuaikan dengan Kode Etik Advokat ini.
Pasal 23
Perkara-perkara pelanggaran kode etik yang belum diperiksa dan belum diputus atau belum berkekuatan hukum yang tetap atau dalam pemeriksaan tingkat banding akan diperiksa dan diputus berdasarkan Kode Etik Advokat ini.
BAB XXII
PENUTUP
Pasal 24
Kode Etik Advokat ini berlaku sejak tanggal berlakunya Undang-undang tentang Advokat

Ditetapkan di : Jakarta
Pada tanggal : 23 Mei 2002

PERUBAHAN I
KODE ETIK ADVOKAT INDONESIA
Ketujuh organisasi profesi advokat yang tergabung dalam Komite Kerjasama Advokat Indonesia (KKAI, yaitu Ikatan Advokat Indonesia (IKADIN), Asosiasi Advokat Indonesia (AAI), Ikatan Penasihat Hukum Indonesia (IPHI), Asosiasi Konsultan Hukum Indonesia (AKHI), Himpunan Konsultan Hukum Pasar Modal (HKHPM), Serikat Pengacara Indonesia (SPI), dan Himpunan Advokat & Pengacara Indonesia (HAPI), dengan ini merubah seluruh ketentuan Bab XXII, pasal 24 kode etik Advokat Indonesia yang ditetapkan pada tanggal 23 Mei 2002 sehingga seluruhnya menjadi :

BAB XXII
PENUTUP
Kode etik Advokat ini berlaku sejak tanggal ditetapkan, yaitu sejak tanggal 23 Mei 2002.
Ditanda-tangani di: Jakarta
Pada tanggal: 1 Oktober 2002
Oleh:
KOMITE KERJA ADVOKAT INDONESIA

Kamis, 16 Juni 2011

Intellectual Property Rights

Kekayaan Intelektual atau Hak Kekayaan Intelektual (HKI) atau Hak Milik Intelektual adalah padanan kata yang biasa digunakan untuk Intellectual Property Rights (IPR) atau Geistiges Eigentum, dalam bahasa Jermannya Istilah atau terminologi Hak Kekayaan Intelektual (HKI) digunakan untuk pertama kalinya pada tahun 1790. Adalah Fichte yang pada tahun 1793 mengatakan tentang hak milik dari si pencipta ada pada bukunya. Yang dimaksud dengan hak milik disini bukan buku sebagai benda, tetapi buku dalam pengertian isinya.[2] Istilah HKI terdiri dari tiga kata kunci, yaitu Hak, Kekayaan, dan Intelektual. Kekayaan merupakan abstraksi yang dapat dimiliki, dialihkan, dibeli, maupun dijual.



Teori Hak Kekayaan Intelektual (HKI) sangat dipengaruhi oleh pemikiran John Locke tentang hak milik. Dalam bukunya, Locke mengatakan bahwa hak milik dari seorang manusia terhadap benda yang dihasilkannya itu sudah ada sejak manusia lahir. Benda dalam pengertian disini tidak hanya benda yang berwujud tetapi juga benda yang abstrak, yang disebut dengan hak milik atas benda yang tidak berwujud yang merupakan hasil dari intelektualitas manusia[7]



Sejarah Perkembangan Sistem Perlindungan Hak Kekayaan Intelektual di Indonesia

* Secara historis, peraturan perundang-undangan di bidang HKI di Indonesia telah ada sejak tahun 1840. Pemerintah kolonial Belanda memperkenalkan undang-undang pertama mengenai perlindungan HKI pada tahun 1844. Selanjutnya, Pemerintah Belanda mengundangkan UU Merek tahun 1885, Undang-undang Paten tahun 1910, dan UU Hak Cipta tahun 1912. Indonesia yang pada waktu itu masih bernama Netherlands East-Indies telah menjadi angota Paris Convention for the Protection of Industrial Property sejak tahun 1888, anggota Madrid Convention dari tahun 1893 sampai dengan 1936, dan anggota Berne Convention for the Protection of Literaty and Artistic Works sejak tahun 1914. Pada zaman pendudukan Jepang yaitu tahun 1942 sampai dengan 1945, semua peraturan perundang-undangan di bidang HKI tersebut tetap berlaku. Pada tanggal 17 Agustus 1945 bangsa Indonesia memproklamirkan kemerdekaannya. Sebagaimana ditetapkan dalam ketentuan peralihan UUD 1945, seluruh peraturan perundang-undangan peninggalan Kolonial Belanda tetap berlaku selama tidak bertentangan dengan UUD 1945. UU Hak Cipta dan UU Merek tetap berlaku, namun tidak demikian halnya dengan UU Paten yang dianggap bertentangan dengan pemerintah Indonesia. Sebagaimana ditetapkan dalam UU Paten peninggalan Belanda, permohonan Paten dapat diajukan di Kantor Paten yang berada di Batavia (sekarang Jakarta), namun pemeriksaan atas permohonan Paten tersebut harus dilakukan di Octrooiraad yang berada di Belanda
* Pada tahun 1953 Menteri Kehakiman RI mengeluarkan pengumuman yang merupakan perangkat peraturan nasional pertama yang mengatur tentang Paten, yaitu Pengumuman Menteri Kehakiman no. J.S 5/41/4, yang mengatur tentang pengajuan sementara permintaan Paten dalam negeri, dan Pengumuman Menteri Kehakiman No. J.G 1/2/17 yang mengatur tentang pengajuan sementara permintaan paten luar negeri.
* Pada tanggal 11 Oktober 1961 Pemerintah RI mengundangkan UU No.21 tahun 1961 tentang Merek Perusahaan dan Merek Perniagaan untuk mengganti UU Merek Kolonial Belanda. UU No 21 Tahun 1961 mulai berlaku tanggal 11 November 1961. Penetapan UU Merek ini untuk melindungi masyarakat dari barang-barang tiruan/bajakan.
* 10 Mei 1979 Indonesia meratifikasi Konvensi Paris Paris Convention for the Protection of Industrial Property (Stockholm Revision 1967) berdasarkan keputusan Presiden No. 24 tahun 1979. Partisipasi Indonesia dalam Konvensi Paris saat itu belum penuh karena Indonesia membuat pengecualian (reservasi) terhadap sejumlah ketentuan, yaitu Pasal 1 sampai dengan 12 dan Pasal 28 ayat 1.
* Pada tanggal 12 April 1982 Pemerintah mengesahkan UU No.6 tahun 1982 tentang Hak Cipta untuk menggantikan UU Hak Cipta peninggalan Belanda. Pengesahan UU Hak Cipta tahun 1982 dimaksudkan untuk mendorong dan melindungi penciptaan, penyebarluasan hasil kebudayaan di bidang karya ilmu, seni, dan sastra serta mempercepat pertumbuhan kecerdasan kehidupan bangsa.
* Tahun 1986 dapat disebut sebagai awal era moderen sistem HKI di tanah air. Pada tanggal 23 Juli 1986 Presiden RI membentuk sebuah tim khusus di bidang HKI melalui keputusan No.34/1986 (Tim ini dikenal dengan tim Keppres 34) Tugas utama Tim Keppres adalah mencakup penyusunan kebijakan nasional di bidang HKI, perancangan peraturan perundang-undangan di bidang HKI dan sosialisasi sistem HKI di kalangan intansi pemerintah terkait, aparat penegak hukum dan masyarakat luas.
* 19 September 1987 Pemerintah RI mengesahkan UU No.7 Tahun 1987 sebagai perubahan atas UU No. 12 Tahun 1982 tentang Hak Cipta.
* Tahun 1988 berdasarkan Keputusan Presiden RI No.32 ditetapkan pembentukan Direktorat Jenderal Hak Cipta, Paten dan Merek (DJHCPM) untuk mengambil alih fungsi dan tugas Direktorat paten dan Hak Cipta yang merupakan salah satu unit eselon II di lingkungan Direktorat Jenderal Hukum dan Perundang-Undangan, Departemen Kehakiman.
* Pada tanggal 13 Oktober 1989 Dewan Perwakilan Rakyat menyetujui RUU tentang Paten yang selanjutnya disahkan menjadi UU No. 6 Tahun 1989 oleh Presiden RI pada tanggal 1 November 1989. UU Paten 1989 mulai berlaku tanggal 1 Agustus 1991.
* 28 Agustus 1992 Pemerintah RI mengesahkan UU No. 19 Tahun 1992 tentang Merek, yang mulai berlaku 1 April 1993. UU ini menggantikan UU Merek tahun 1961.
* Pada tanggal 15 April 1994 Pemerintah RI menandatangani Final Act Embodying the Result of the Uruguay Round of Multilateral Trade Negotiations, yang mencakup Agreement on Trade Related Aspects of Intellectual Property Rights (Persetujuan TRIPS).
* Tahun 1997 Pemerintah RI merevisi perangkat peraturan perundang-undangan di bidang HKI, yaitu UU Hak Cipta 1987 jo. UU No. 6 tahun 1982, UU Paten 1989 dan UU Merek 1992.
* Akhir tahun 2000, disahkan tiga UU baru dibidang HKI yaitu : (1) UU No. 30 tahun 2000 tentang Rahasia Dagang, UU No. 31 tahun 2000 tentang Desain Industri, dan UU No. 32 tahun 2000 tentang Desain Tata Letak Sirkuit Terpadu.
* Untuk menyelaraskan dengan Persetujuan TRIPS (Agreement on Trade Related Aspects of Intellectual Property Rights) pemerintah Indonesia mengesahkan UU No 14 Tahun 2001 tentang Paten, UU No 15 tahun 2001 tentang Merek, Kedua UU ini menggantikan UU yang lama di bidang terkait. Pada pertengahan tahun 2002, disahkan UU No.19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta yang menggantikan UU yang lama dan berlaku efektif satu tahun sejak di undangkannya.
* Pada tahun 2000 pula disahkan UU No 29 Tahun 2000 Tentang Perlindungan Varietas Tanaman dan mulai berlaku efektif sejak tahun 2004.



Menurut WIPO (World Intellectual Property Organization) – badan dunia di bawah naungan PBB untuk isu HKI, hak kekayaan intelektual terbagi atas 2 kategori, yaitu:

1. Hak Kekayaan Industri

Kategori ini mencakup penemu-an (paten), merek, desain indus-tri, dan indikasi geografis. Dari sumber situs WTO, masih ada hak kekayaan intelektual lainnya yang termasuk dalam kategori ini yaitu rahasia dagang dan desain tata letak sirkuit terpadu.

2. Hak Cipta

Hak Cipta merupakan istilah legal yang menjelaskan suatu hak yang diberikan pada pencipta atas karya literatur dan artistik mereka. Tujuan utamanya adalah untuk memberikan perlindungan atas hak cipta dan untuk mendukung serta memberikan penghargaan atas buah kreativitas.

Karya-karya yang dicakup oleh Hak Cipta termasuk: karya-karya literatur seperti novel, puisi, karya pertunjukan, karta-karya referensi, koran dan program komputer, data-base, film, komposisi musik, dan koreografi, sedangkan karya artistik seperti lukisan, gambar, fotografi dan ukiran, arsitektur, iklan, peta dan gambar teknis.



3. Paten

Paten merupakan hak eksklusif yang diberikan atas sebuah penemuan, dapat berupa produk atau proses secara umum, suatu cara baru untuk membuat sesuatu atau menawarkan solusi atas suatu masalah dengan teknik baru.

Paten memberikan perlindungan terhadap pencipta atas penemuannya. Perlindungan tersebut diberikan untuk periode yang terbatas, biasa-nya 20 tahun. Perlindungan yang dimaksud di sini adalah penemuan tersebut tidak dapat secara komersil dibuat, digunakan, disebarkan atau di jual tanpa izin dari si pencipta.

4. Merek

Merek adalah suatu tanda tertentu yang dipakai untuk mengidentifi-kasi suatu barang atau jasa sebagai-mana barang atau jasa tersebut dipro-duksi atau disediakan oleh orang atau perusahaan tertentu. Merek membantu konsumen untuk mengidentifikasi dan membeli sebuah produk atau jasa berdasarkan karakter dan kualitasnya, yang dapat teridentifikasi dari mereknya yang unik.

5. Desain Industri

Desain industri adalah aspek ornamental atau estetis pada sebuah benda. Desain tersebut dapat mengandung aspek tiga dimensi, seperti bentuk atau permukaan benda, atau aspek dua dimensi, seperti pola, garis atau warna.

Desain industri diterapkan pada berbagai jenis produk industri dan kerajinan; dari instrumen teknis dan medis, jam tangan, perhiasan, dan benda-benda mewah lainnya; dari peralatan rumah tangga dan peralatan elektronik ke kendaraan dan struktur arsitektural; dari desain tekstil hinga barang-barang hiburan.



Hukum yang mengatur HKI bersifat teritorial, pendaftaran ataupun penegakan HKI harus dilakukan secara terpisah di masing-masing yurisdiksi bersangkutan. HKI yang dilindungi di Indonesia adalah HKI yang sudah didaftarkan di Indonesia.















Sumber

Hukum Tentang Perlindungan Hak Milik Intelektual Dalam Menghadapi Era Globalisasi. Syafrinaldi. 2010. UIR Press. ISBN 979-8885-40-6

Hukum Tentang Perlindungan Hak Milik Intelektual Dalam Menghadapi Era Globalisasi hal 13. Syafrinaldi. 2010. UIR Press. ISBN 979-8885-40-6

Agus Candra Suratmaja, 2010. Pustaka Literasi http://www.literasibookstore.blogspot.com/

Sutedi, A. Hak Atas Kekayaan Intelektual, halaman 38. Sinar Grafika, 2009

Buku Panduan Hak Kekayaan Intelektual, halaman 7. Ditjen HKI, 2006

Locke, Two Treatises of Government, edited and introduced by Peter Laslett, 1988, hal. 285 dalam Hukum Tentang Perlindungan Hak Milik Intelektual Dalam Menghadapi Era Globalisasi hal 7. Syafrinaldi. 2010. UIR Press. ISBN 979-8885-40-6

Sabtu, 11 Juni 2011

PERLINDUNGAN KONSUMEN

PERLINDUNGAN KONSUMEN

Konsumen adalah penguna akhir (end user) dari suatu produk, yaitu setiap pemakai barang dan atau jasa yang tersedia dalam masyarakat, baik bagi kepentingan diri sendiri, keluarga, orang lain maupun makhluk hidup lain dan tidak untuk diperdagangkan. Undang-undang No.8 Tahun 1999 tentang Perlindungan konsumen
Yang merupakan asas dari perlindungan konsumen adalah sebagai berikut:
• Untuk mendapatkan keadilan
• Untuk mencapai asas manfaat
• Untuk mencapai asas keseimbangan
• Untuk mendapatkan keamanan dak keselamatan konsumen
• Untuk mendapatkan kepastian hukum
Sedangkan yang merupakan tujuan dari perlindungan konsumen adalah sebagai berikut:
1. Meningkatkan kesadaran, kemampuan dan kemandirian konsumen untuk melindungi diri
2. Mengangkat harkat dan martabat konsumen dengan cara menghindarkannya dari ekses negative pemakaian barang dan atau jasa
3. Meningkatkan pemberdayaan konsumen dalam memilih, menentukan dan menuntut hak-haknya sebagai konsumen
4. Menciptakan sistim perlindungan konsumen yang mengandung unsur kepastian hukum dan keterbukaan informasi serta akses untuk mendapatkan informasi
5. Menumbuhkan kesadaran pelaku usaha mengenai pentingnya perlindungan konsumen sehingga tumbuh sikap yang jujur dan bertanggung jawab dalam berusaha
6. Meningkatkan kualitas barang dan atau jasa yang menjamin kelangsungan usaha produksi barang dan atau jasa, kesehatan, kenyamanan, keamanan, dan keselamatan konsumen.
HAK DAN KEWAJIBAN KONSUMEN DAN PELAKU USAHA
Sebenarnya, hak dasar konsumen yang sudah berlaku secara universal adalah terdiri dari 4 (empat) macam, yaitu sebagai berikut:
1. Hak atas keamanan dan kesehatan
2. Hak atas informasi yang jujur
3. Hak pilih
4. Hak untuk didengar


Kewajiban konsumen menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku adalah sebagai berikut:
1. Membaca atau mengikuti petunjuk, informasi dan prosedur pemakaian atau pemanfaatan barang atau jasa demi keamanan dan keselamatan
2. Beritikad baik dalam melakukan transaksi pembelian barang dan atau jasa
3. Membayar sesuai dengan nilai tukar yang disepakati
4. Mengikuti upaya penyelesaian hukum tentang sengketa konsumen secara patut
Kemudian, yang menjadi hak pelaku usaha adalah sebagai berikut:
1. Menerima pembayaran sesuai kesepakatan
2. Mendapatkan perlindungan hukum dari perlindungan konsumen yang beritikad tidak baik
3. Melakukan pembelaan sepatutnya dalam penyelesaian sengketa konsumen
4. Merehabilitasi nama baik apabila ternyata dalam penyelesaian sengketa dengan konsumen, ternyata kerugian konsumen bukan disebabkan oleh barang dari pelaku usaha tersebut
5. Hak-hak lain yang diatur dalam berbagai perundang-undangan
Sedangkan kewajiban pelaku usaha seagai berikut:
1. Beritikad baik dalam melakukan kegiatan usahanya
2. Memberikan informs yang benar, jelas, dan jujur tentang kondisi dan penggunaan barang dan jasa
3. Memberlakukan dan melayani konsumen secara benar, jujur dan tidak diskriminatif
4. Menjamin mutu barang/jasa sesuai standar mutu yang berlaku
5. Member kesempatan yang masuk akal kepada konsumen untuk menguji atau mencoba barang/jasa tertentu, serta memberikan garansi atas barang yang diperdagangkan
6. Memberi ganti rugi anakala terjadi kerugian bagi konsumen dalam hubungan dengan penggunaan barang/jasa
7. Memberi ganti rugi anakala terjadi kerugian bagi konsumen jika ternyata barang/jasa tidak sesuai dengan yang diperjanjikan
8. Menyediakan suku cadang dan atau fasilitas purnajual oleh produsen minimal untuk jangka waktu satu tahun
9. Memberikan jaminan atau garansi atau barang yang diproduksikannya
Perbuatan yang dilarang bagi pelaku usaha
1. Larangan yang berhubungan dengan barang dan atau jasa yang diperdagangkan
2. Larangan yang berhubungan dengan promosi /iklan yang menyesatkan
3. Laranngan dalam hubungan dengan penjualan barang secara obral atau lelang yang menyesatkan
4. Larangan yang berhubungan dengan waktu dan jumlah yang tidak di inginkan
5. Larangan terhadap tawaran barang dengan iming-iming hadiah
6. Larangan terhadap tawaran dengan paksaan
7. Larangan terhadap tawaran dalam hubungan dengan pembelian melalui pesanan
8. Larangan yang berhubungan dengan pelaku usaha periklanan
9. Larangan yang berhubungan dengan klausula baku
Konsekuensi yuridis terhadap pelanggaran perundang-undangan tentang perlindungan konsumen
Pelaku usaha yang melanggar ketentuan perundang-undangan tentang perindungan konsumen berakibat terhadap konsekuensi-konsekuensi hukum sebagai berikut:
1. Kewajiban pelaku usaha/importer/penjual untuk menghentikan kegiatannya atau menarik barangnya dari peredaran, dan atau
2. Memberikan ganti rugi kepada konsumen dalam waktu 7(tujuh) hari setelah transaksi denga beban pembuktian dipihak pelaku usaha/importer/penjual, dan atau
3. Tuntutan pidana kepada pelaku usaha/importer/penjual, dengan beban pembuktian pada pelaku usaha/importer/penjual



(Sumber: Dr. Munir Fuady, SH MH, LL.M: Pengantar Hukum Bisnis, PT Citra Aditya Bakti. Bandung 2008)

Rabu, 01 Juni 2011

ANTI MONOPOLI DAN PERSAINGAN CURANG

Hukum mengartikan monopli sebagai suatu penguasaan atas produksi dan atau pemasaran barang atau atas penggunaan jasa tertentu oleh 1 (satu) pelaku usaha atau 1 (satu) kelompok pelaku usaha. Dengan demikian praktek monopoli dimaksudkan adalah sebagai suatu pemusatan kekuatan ekonomi oleh 1 (satu) atau lebih pelaku usahayang mengakibatkan dikuasainya produksi dan atau pemasaran atas barang dan atau jasa tertentu sehingga menimbulkan suatu persaigan usaha secara tidak sehat dan dapat merugikan kepentingan umum
Persaingan curang adalah suatu persaingan antar pelaku usaha dalam menjalankan kegiatan produksi dan atau pemasaran barang atau jasa yang dilakukan degan cara yang tidak jujur atau dengan cara melawan hukum atau menghambat persaingan usaha
Monopoli harus dilarang karena dapat memberikan dampak negative terhadap:
- Harga barang dan /atau jasa
- Kualitas barang dan /atau Jasa
- Kualitas barang dan /atau Jasa
Dalam melarag kegiatan yang mengakibatkan timbulnya monopoli, hukum menggunakan dua pendekatan:
- Pendekatan Per Se, dan
- Pendekatan Rule of Reason
Sesuai dengan pengaturan perjanjian dalam KUH Perdata, Maka Hukum perdata menyatakan bahwa suatu perjanjian haruslah :
- Memunyai kausa yang diperbolehkan
- Tidak bertentangan dengan kepentingan umum
- Dilakukan dengan itikad baik
- Sesuai dengan asas-asas kepatutan
- Sesuai dengan kebiasaan
Perjanjian-perjanjian yang dilarang oleh perundang-undangan tentang anti monopoli adalah sebagai berikut:
1. Oligopoli
2. Penetapan harga
3. Pembagian wilayah
4. Kartel
5. Trust
6. Oligopsoni
7. Integrasi vertical
8. Perjanjian tertutup
9. Perjanjian dengan pihak luar negeri






(Sumber; Fuady Munir, Pengantar Hukum Bisnis)

Jumat, 20 Mei 2011

Perizinan Dunia Bisnis

Dalam proses industrialisasi sekarang ini, minimal ada 5 (lima) peran yang menjadi prioritas agar dunia bisnis dapat berkembang dengan cepat dan mantap, yakni Pertama, untuk meningktkan laju pertumbuhan ekonomi; Kedua, meningkatkan lapangan kerja dan nilai tambah; Ketiga, meningkatkan ekspor; Keempat, menghemat devisa; Kelima, mendorong penggunaan tekologi.
Kebijaksanaan deregulasi dan debirokratisasi yang dilakukan terhadap dunia usaha merupakan salah satu cara, maka salah satu langkah yang cukup menunjang adalah dengan diberlakukannya Surat Izin Usaha Perdagangan (SIUP) seperti yang diingatkan dalam UU No. 3 Tahun 1982 tentang wajib daftar Perusahaan
Dengan adanya izin, seseorang atau badan hukum dapat mempunyai serangkaian hak dan kewajiban yang dapat membuatnya dapat menikmati dan mengambil manfaat untuk keuntungan usahanya. Namun, demikian pemerintah dapat pula mengambil langkah pertimbangan keterbatasan dan jasa kestabilan untuk memelihara persaingan usaha yang sehat da membatasi pemberian izin usaha

Masalah Pengaturan Perizinan
Masalah perizinan dalam duia bisnis, bisa meliputi perizinan disektor pemerintahan umum, sector agrarian/pertanahan, sector perindustrian, sector usaha/perdagangan dan lain sebagainya
Lampiran Inpres No.5 Tahun 1984 terdiri dari 9 (Sembilan) Pasal dan terdapat 7 (tujuh) hal penting yang menjadi tolok ukur setiap perizinan yang akan dikeluarkan, yaitu:
1. Perlunya dikurangi jumlah perizinan yang harus dimiliki pengusaha, sehingga yang benar-benar diperlukan saja diberikan izin
2. Perlunya disederhanakan persyaratan administrative dengan mengurangi jumlah dan menghindari pegurangan persyaratan yang sealur dalam rangkaian perizinan yang bersangkutan
3. Perlu diberikan jangka waktu yang cukup panjang, sehingga dapat member jaminan bagi kepastian dan kelangsungan usaha
4. Perlunya dikurangi bila perlu meringankan dan menghilangkan sama sekali biaya pengurusan perizinan
5. Perlunya disederhanakan tatacara pelaporan, sehingga satu laporan dapat dipergunakan untuk memenuhi kebutuhan erbagai departemen/instansi pemerintah, baik dipusat maupun didaerah.
6. Perlunya dilakukan pengawasan terhada pelaksanaan perizinan dibidang usaha, dan ditekankan agar penerima izin dapat diwajiban untuk memberikan laporan paling banyak satu kali setiap satu semester (enam bulan)
7. Perlunya dilakukan penelitian terhadap pelaksanaan perizinan yang menyangkut personel sesuai degan ketentuan perundang-undangan kepegawaian terasuk tuntutan ganti rugi, disiplin pegawai negeri dan tuntutan pidana
Dalam masalah perizinan duia bisnis secara umum dapat dikatakan ada epat masalah yang terkait, yaitu sebagai berikut:
1. Adanya bentuk dan jenis izin yang diselenggarakan umumnya secara bertahap, yang diawali dengan letter of intent untuk mendapatkan izin prinsip yang kemudian dikenal dengan adanya izin sementara, zin tetap, izin perluasan
2. Adanya badan hukum yang dipersyaratkan dalam perizinan sehingga terdapat berbagai kemungkinan badan hukum berdasarkan ketentuan yang berbeda seperti, KUHD,UUPMA,UUPMDN dan sebagainya
3. Adaya kegiatan idustri yang dalam pemberian izinnya dibedakan antara bidang yang dikelolah oleh departemen-departemen seperti perindustrian, pertanian, pertambangan dan energy, serta departemen-departemen lainnya
4. Dibidang perdagangan, namun diperisyaratkan pula untk mendapat rekomendasi dan departemen terkait, sehingga jalurnya menjadi lebih panjang
Surat Izin Usaha Perdagangan (SIUP)
Surat izin perdagangan yang disingkat SIUP adalah surat lain untuk data melaksanakan kegiatan perdagangan. Dasar hukum untuk mendapatkan SIUP adalah UU No. 3 Tahun 1982 tentang wajib daftar perusahaan, yang meyebutkan bahwa suatu perusahaan wajib didaftarkan dalam jangka waktu 3 (tiga) bulan setelah perusahaan mulai menjalankan usahanya
Ketentuan perusahaan yang harus memilii SIUP dibedakan atas 3 (tiga) kelompk, yaitu:
1. Perusahaan kecil, yaitu perusahaan yang mempunyai modal dan kekayaan bersih (netto) dibawah Rp.25.000.000
2. Perusahaan menegah, yaitu perusahaan yang mempunyai modal dan kekayaan bersih (netto) Rp. 25.000.000 sampai dengan Rp. 100.000.000
3. Perusahaan besar, yaitu perusahaan yang mempunyai modal dan kekayaan bersih diatas Rp. 100.000.000


(Richard B Simatupang,2003 Aspek Hukum Dalam Bisnis, Jakarta:PT Rineka cipta)

Sabtu, 14 Mei 2011

Hubungan Industrial

PENGANTAR

Bahwa salah satu asas dalam praktek hukum beracara adalah pegadilan membantu para pencari keadilan untuk sedapat mungkin berusaha mengatasi segala hambatan dan rintangan demi tercapainya peradilan yang sederhana, cepat, dan tepat dengan biaya ringan. Dan telah menjadi rahasia umum bahwa dalam proses berperkara melalui lembaga peradilan memakan waktu penyelesaian yang relative cukup lama dan jika dihitung sejak gugatan didaftarakan ke kepaniteraan pengadilan sampai dengan adanya putusan yang berkekuatan hukum tetap, tidak jarang dan bahkan sering melebihi waktu satu tahun
Penyelesaian perkara atau sengketa dalam jangka waktu yang lama dan berlarut-larut sudah tentu sagat berpengaruh bagi para pengusa, sebab dalam dunia usaha waktu adalah uang. Oleh sebab itu yang bukan tidak mungkin ---kalau tidak boleh dikatakan selalu---, kurang dihayati oleh para hakim berkenaan dengan keperbagaian kontrak, seperti: asuransi, perjanjian keteagakerjaan dan sebagainya. Untuk itulah dibutuhkan prosedur penyelesaian hubungan industrial tersendiri sebagaimana yang diatur dalam undang-undang No.2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial (selanjutnya disebut “UU PPHI”)

PEMBAHASAN
  1. 1.    Pengertian dan Jenis-jenis Perselisihan Hubungan Industrial
-          Perselisihan Hubungan Indutrial adalah perbedaan pendapat yang mengakibatkan pertentangan antara pengusaha atau gabungan pengusaha dengan Pekerja/buruh atau serikat pekerja/buruh karena adanya perselisihan mengenai hak, perselisihan kepentingan, perselisihan pemutusan hubungan kerja dan perselisihan antar serikat pekerja/serikat buruh dalam satu perusahaan
-          Perselisihan hak adalah perselisihan yang timbul karena tidak dipenuhinya hak, akibat adanya perbedaan pelaksanaan atau penafsiran terhadap ketentuan perundang-undangan, perjanjian kerja, pengaturan perusahaan atau perjanjian kerja ersama
-          Perselisihan kepentingan adalah perselisihan yang timbul dalam hubungan kerja karena tidak adanya kesesuaian pendapat mengenai perbuatan, dan atau perubahan syarat-syarat kerja yang ditetapkan dalam perjanjian kerja atau peraturan perusahaan atau perjanjian kerja bersama
-          Perselisihan antar serikat kerja/serikat buruh adalah perselisihan yang terjadi karena tidak adanya kesesuaian paham mengenai keanggotaan, pelaksanaan hak, dan kewajiban keserikatan pekerjaan
-          Pengusaha adalah
  1. Orang perorangan, persekutuan, badan hukum yang menjalankan suatu perusahaan milik sendiri
  2. Oang perorangan, persekutuan atau badan hukum yang secara berdiri sendiri menjalankan perusahaan bukan miliknya sendiri
  3. Orang perorangan, persekutuan atau badan hukum yang berada di Indonesia mewakili perusahaan sebagaimana pada huruh a dan b yang berkedudukan diluar wilayah Indonesia
-          Serikat pekerja/serikat buruh (Selanjutnya disebut “SP/SB”) adalah organisasi yang dibentu dari dan oleh dan untuk pekerja sp/sb baik diperusahaan diluar perusahaan, yang bersifat bebas, terbuka, mandiri, demokratis dan bertanggung jawab memperjuagkan membela serta melidungi hak dan kepentingan pekerja/buruh dan keluarganya
-          Pekerja/buruh adalah setiap orang yang bekerja dengan menerima upah atau imbalan dalam bentuk lain
-          Perundingan Bipatrit adalah perundingan antara pekerja/buruh atau sp/sb dengan pengusaha untuk menyelesaikan perselisihan hubungan industrial
-          Mediasi HI yang selanjutnya disebut mediasi adalah peyelesaian perselisihan hak, perselisihan kepentingan, perselisihan antara pemutusan  hubungan kerja dan sp/sb daam suatu perusahaan melalui musyawarah yang ditengahi oleh seorang atau lebih mediator
-          Mediator HI adalah pegawai instansi pemerintah yang bertanggung jawab dibidang ketenagakerjaan yang memenihi syarat sebagai mediator


  1. 2.    Hak-Hak Normativ Pekerja
-          Bersifat ekonomis
-          Bersifat politis
-          Bersifat medis
-          Bersifat sosial

  1. Mekanisme penyelesaian perselisihan hubungan industrial menurut UU PPHI
Ketentuan Pasal 57 UU PPHI
“ Hukum acara yang berlaku pada pengadilan hbungan industrial adalah hukum acara perdata yang berlaku pada pengadilan dalam lingkungan peradilan umum, kecuali yang diatur secara khusus dalam undang-undang ini”

Pasal 57 merupakan Lex specialis dari pada Hukum Acara Perdata yang berlaku. Pasal 151 ayat (1) dan (2) UUK mengisyaratkan untuk “Harus” dan  “Wajib”melakukan perundingan Bipatrit, sebagaimana juga yang dimaksud dalam Pasal 3 UU PPHI. Apabilah dalam jangka waktu yang ditentukan salah satu pihak enolak berunding atau tidak tercapai kata damai maka perundingan tersebut gagal. Jika gagal maka melalui disnaker menawaran penyelesain melalui konsiliasi atau mediasi dan jika dalam penyelesain ini tidak tercapai kesepakan maka selanjutnya didaftarakan di Pengadilan Hubungan Industial di Pengadilan Negeri
Gugatan diajukan kepada PHI pada PN yang daerah hukumnya meliputi tempat pekerja/buruh bekerja. Pengajuan gugatan ke PHI harus melampirkan risalah yang dibuat pada perundingan sebelumnya

(Sumber: L Batserin, SH: Hukum Acara PHI, Disampaikan pada kegiatan Pendidikan Khusus Profesi Advokat-PERADI Gel II)